Assalamu'alaikum warohmatullahi wabarokatuh. hay kawan,selamat datang di ZAD-CSTM, sebuah blog yang sengaja di buat untuk kebutuhan saya dan anda jika anda butuh, dan blog ini berisi tentang apa saja yang saya butuhkan, atau apa yang telah saya miliki ataupun segala hal penting gag penting yang penting bermanfaat. Selamat menikmati ya kawan. Semoga bermanfaat. terimakasih wassalamu'alaikum warohmatullahi wabarokatuh.

Kamis, 09 Desember 2010

Abu Dzar Al-Ghifari

Lembah Waddan yang menghubungkan kota Makkah dengan dunia luar dihuni oleh kabilah Ghifar. Kehidupan kabilah ini bergantung pada semacam pungutan yang dikenakan terhadap kafilah-kafilah dagang Quraisy yang hilir mudik dari dan ke Syam. Kadangkala, bila kafilah dagang yang lewat itu tak mau memberi, kabilah Ghifar merampok mereka.
Tersebutlah Jundub bin Jundah yang lebih terkenal dengan sebutan Abu Dzar. Dia adalah seorang putra Ghifar yang terkemuka karena keberanian, kecerdasan, dan wawasan beripikirnya yang luas.
Dada Abu Dzar terasa sesak menyaksikan kaumnya menyembah patung-patung mati. Dia mengecam akidah bangsa Arab yang rusak ini dan selalu berharap-harap akan datangnya seorang nabi baru mampu mengisi akal dan hati mereka dengan cahaya kebenaran dan mengeluarkan mereka dari kegelapan.
Akhirnya sampai juga ke telinga Abu Dzar berita bahwa seorang nabi baru telah muncul di kota Makkah. Dia segera berkata kepada saudaranya, Anis: “Saudaraku, pergilah ke kota Makkah untuk mencari berita tentang orang yang mengaku sebagai nabi yang menerima wahyu dari langit itu. Dengarlah apa yang diserukannya lalu ceritakan padaku.”
Anis segers berangkat ke Makkah. Di sana dia bisa bertemu dengan Rasulullah dan mendengar seruannya. Setelah itu dia segera pulang, dan disongsong oleh Abu Dzar dengan berdebar-debar.
Kata Anis: “Demi Allah, aku melihat seseorang mengajak pada keluhuran budi dan akhlak. Kata-kata yang diucapkannya bukanlah syair.”
Kata Abu Dzar: “Demi Allah, engkau tidak memuaskan aku dan tidak menyampaikan apa yang kubutuhkan. Begini saja, maukah engkau menanggung keluargaku untuk sementara waktu? Aku ingin menjumpai dan bercakap-cakap dengan nabi itu.
“Baik. Tapi berhati-hatilah, jaga dirimu dari penduduk kota Makkah,” pesan Anis.
Abu Dzar segera menyiapkan perbekalan. Dengan membawa qirbah (tempat air terbuat dari kulit binatang) kecil dia berangkat ke Makkah keesokan harinya. Hatinya sudah bulat. Dia harus bertemu dengan nabi dan menanyakan tentang apa yang diserukannya.
Singkat cerita, Abu Dzar sampai di kota Makkah. Dia telah banyak mendengar berita tentang keganasan Quraisy terhadap orang-orang yang ingin menjadi pengikut Muhammad. Oleh karena itu dia takut dan tak mau bertanya kepada siapapun tentang Muhammad, sebab dia tak tahu apakah yang ditanya itu sahabat Muhammad atau justru musuhnya.
Ketika malam tiba Abu Dzar tidur-tiduran di masjid. Kebetulan tak lama berselang Ali bin Abi Thalib berlalu di depan masjid. Dalam sekejab Ali tahu bahwa Abu Dzar adalah pendatang dari luar kota sehingga dia berkata, “Saudara, mari menginap saja di rumahku.”
Jadilah Abu Dzar menginap di rumah Ali malam itu. Pagi harinya dia membawa qirbah dan kantung makanannya untuk kembali ke masjid bersama si tuan rumah. Namun kedua orang itu tidak saling menanyakan urusannya.
Sampai hari kedua Abu Dzar belum juga mendapatkan keterangan tentang Nabi Muhammad. Maka ketika senja turun dia pergi ke masjid untuk tidur. Seperti kemarin, Ali bin Abi Thalib melewati masjid, lalu bertanya, “Anda belum pulang?”
Seperti kemarin pula, malam itu Abu Dzar kembali menginap di rumah Ali. Begitu pun keduanya tetap tidak saling bertanya atau memperkenalkan diri.
Pada malam yang ketiga, akhirnya Ali bertanya kepada tamunya, “Apa sebenarnya keperluan Anda di Makkah ini?”
Abu Dzar menjawab dengan hati-hati, “Pertama-tama, berjanjilah dulu bahwa Anda mau memberikan keterangan yang kubutuhkan.”
Setelah Ali memberikan janjinya, baru Abu Dzar berterus terang, “Sebenarnya kedatanganku kemari ini dari suatu tempat yang jauh adalah untuk menjumpai nabi baru itu. Aku ingin mendengar tentang sesuatu yang dia bawa.”
Mendengar itu wajah Ali membiaskan kegembiraan. Ia menuturkan dengan bergairah, “Demi Allah, beliau benar-benar Rasul Allah. Biasanya beliau begini dan begitu … Besok pagi Anda bisa ikut aku. Nanti bila ada hal-hal yang terlihat mencurigakan, aku akan berhenti dan pura-pura buang air. Bila aku berjalan lagi, teruslah mengikuti. Dan bila aku memasuki sebuah rumah, masuklah juga.”
Malam itu Abu Dzar tidak mampu memicingkan mata sedikitpun karena rasa rindu yang meluap-luap untuk berjumpa dengan nabi dan mendengarkan wahyu Allah.
Pagi harinya mereka berdua berangkat ke rumah Rasulullah. Abu Dzar berjalan agak jauh di belakang Ali. Jalan yang mereka tempuh lurus saja, tidak berbelok ke kanan ataupun ke kiri, sampai akhirnya memsuki sebuah rumah.
Begitu melihat Nabi Sholallohu 'alaihi wassalam, Abu Dzar memberi salam, “Assalamu 'alaika, ya Rasulullah.”
Rasulullah menjawab, “Wa 'alaikassalamullahi wa rahmatuhu wa barakatuh.”
Abu Dzar-lah orang pertama yang memberi salam kepada Rasulullah dengan cara demikian. Ucapannya itu kemudian menjadi salam Islam dan ditiru oleh semua muslimin.
Rasulullah kemudian menyeru Abu Dzar ke dalam Islam. Beliau membacakan dan mengajarinya Al-Qur'an. Sebelum meninggalkan tempat itu, Abu Dzar telah mengucapkan syahadat dan resmi memeluk Islam. Dia menjadi orang keempat atau kelima yang melakukannya.
Berikut penuturan Abu Dzar: ”…Setelah itu aku tinggal bersama Rasulullah di Makkah. Beliau mengajariku dinul(agama) Islam dan membacakan Al-Qur'an. Beliau juga berpesan, “Jangan sekali-kali engkau berterang-terangan tentang Islam di kota Mekkah ini. Aku Khawatir orang-orang akan membunuhmu.”
Kataku, “Demi jiwaku yang ada di tangan-Nya, saya tidak akan meninggalkan Mekkah sebelum pergi ke masjid dan mengumandangkan kebenaran Islam di tengah-tengah masyarakat Quraisy.”
Rasulullah berdiam diri mendengar kekerasanku.
Lalu aku pergi ke masjid. Orang-orang Qurasy sedang duduk-duduk sambil mengobrol. Di tengah-tengah mereka aku berdiri dan berteriak sekeras-kerasnya, “Hai orang-orang Quraisy, aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah Rasulullah!”
Mereka terperanjat, dan sedetik kemudian semua bangkit dari duduknya dan menyerbu ke arahku. “Hajar saja orang ini! Dia telah keluar dari agamanya!” di sana-sini terdengar teriakan.
Orang-orang segera menghujaniku dengan pukulan-pukulan keras tanpa ampun. Mungkin aku akan tewas kalau saja Abbas bin Abdulmuthalib tidak segera datang. Dia berusaha melindungiku dan menghardik para pengeroyokku, “Celakalah kalian! Kalian hendak membunuh seorang Ghifar, padahal kafilah kalian harus melewati perkampungan Ghifar?!”
Mendengar itu, baru mereka berhenti.
Setelah siuman, aku pergi menjumpai Rasulullah. Melihat keaadanku, beliau berkata, “Bukanlah aku telah melarangmu mengumumkan Islam?”
Kataku, “Ya Rasulullah, niat dalam hati saya telah terpenuhi.” Beliau berkata lagi, “Pulanglah ke tempat kaummu dan beritakan apa yang kau lihat dan kau dengar di sini. Serulah mereka ke dalam agama Allah. Semoga dia memberi petunjuk kepada mereka melalui engkau dan memberikan pahala kepadamu. Bila kau dengar posisi Islam dalam masyarakat sudah kokoh, datanglah kembali kepadaku.”
Aku pun pulang sesuai dengan perintah Rasulullah. Saudaraku Anis menyongsong seraya bertanya, “Apa saja yang telah kau lakukan?”
“Aku memeluk Islam dan aku mempercayai Rasulullah,” jawabku.
Allah membukakan hati Anis sehingga dia berkata, “Aku tidak suka kepada Agamaku. Aku menyatakan Islam dan membenarkan dakwah Rasulullah.”
Kemudian kami berdua menjumpai Ibu dan mengajaknya masuk Islam. Dia berkata, “Aku tidak suka kepada Agamaku. Aku juga menyatakan Islam.”
Sejak hari itu, keluarga yang beriman ini bergerak memperkenalkan Islam di daerah Ghifar tanpa jemu-jemu sehingga banyak penduduk Ghifar yang masuk Islam. Shalat lima waktu pun aktif dilakukan di masjid-masjid.
Segolongan orang berkata, “Sementara ini kita bertahan dalam agama kita. Nanti bila Rasulullah ke kota Madinah baru kita nyatakan keislaman kita di depan beliau.”
Begitulah. Setelah Rasulullah hijrah ke Madinah, mereka semua menyatakan keislamannya. Beliau berkata, Ghfar, semoga Allah mengampuni mereka. Aslam, semoga Allah memberi mereka keselamatan..”
Abu Dzar tetap tinggal didusunnya sampai tercetusnya perang Badar, Uhud dan Khandaq. Sesudah itu dia pergi ke Madinah dan minta izin untuk menyertai Rasulullah dan melayani semua kebutuhan beliau. Sebaliknya, Rasulullah juga mengutamakan dan menghormati Abu Dzar. Setiap kali berjumpa, beliau pasti menjabat tangan Abu Dzar erat-erat sambil tersenyum menunjukkan kegembiraan.
Setelah Rasulullah pulang ke rahmatullah, Abu Dzar tidak lagi merasa betah tinggal di Madinah. Dia pindah ke Syam, dan tinggal disana selama masa khalifah Abu Bakar Ash-Shiddiq, dan Al-Faruq, Umar bin Khathab.
Pada masa khalifah Utsman bin Affan, Abu Dzar pindah ke Damsyik. Di kota ini dilihatnya betapa kaum muslimin tenggelam dalam kemewahan dan sangat condong pad dunia. Kondisi ini sangat mengejutkan Abu Dzar.
Suatu kali Khalifah Utsman memanggilnya agar kembali ke Madinah. Abu Dzar segera memenuhi panggilan itu. Tapi lagi-lagi disini dia menjumpai kondisi yang sama. Kini hatinya cemas melihat manusia begitu cenderung kepada dunia. Sebaliknya, orang-orang merasa sesak menghadapi kekerasan hati Abu Dzar yang tak bosan-bosannya memperingatkan mereka dengan kata-kata pedas.
Khalifah kemudian menyarankan agar Abu Dzar bermukim di Arrabdzah, sebuah desa kecil yang masih wilayah Madinah. Abu Dzar menyetujui dan berangkat dengan segera. Dia hidup jauh dari manusia, zuhud terhadap kekayaan, tak mengirikan harta benda yang berada di tangan orang lain, berpegang pada cara hidup Rasulullah dan kedua sahabatnya yang mulia. Dia mengutamakan kehidupan akhirat yang kekal daripada kehidupan dunia yang fana.
Suatu hari seorang lelaki berkunjung ke rumah Abu Dzar. Melihat rumahnya kosong melompong, tamu itu bertanya, “Wahai Abu Dzar, dimana gerangan perabot-perabot rumah anda?”
Jawab Abu Dzar, “Kita punya rumah di kampung sana (maksudnya kanpung akhirat) sehingga perabot-perabot yang terbaik kukirimkan ke sana.”
Tamu itu mengerti maksudnya. Katanya lagi, “Tapi Anda juga mesti memiliki perabot selama berada di kampung yang sekarang.”
“Tapi si empunya rumah tidak mengizinkan kita menetap di rumah yang ini (si dunia),” jawab Abu Dzar.
Pernah gubernur Syam mengirimkan uang tiga ratus dinar kepada Abu Dzar disertai ucapan, “Pergunakanlah uang ini untuk kebutuhan Anda.”
Abu Dzar mengembalikan seluruhnya seraya berkata, “Apakah Tuan Gubernur tidak menemukan seorang hamba yang lebih miskin dari saya?”
Pada tahun 32 H, malaikat maut telah menjemput seorang zuhud yang tekun beribadah yang dikatakan oleh Rasulullah: “Tidak ada dia atas bumi dan di bawah langit orang yang lebih jujur daripada Abu Dzar.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar